Bersama : Nofita Sari
Kemunculan
Hadits palsu dimulai bersamaan dengan terjadinya konflik intern dalam kubu umat
Islam. Orang-orang yang terlibat dalam pertikaian konflik politik dalam kubu
umat Islam itulah yang menjadi dalang dari kemunculan hadits-hadits palsu.
Pertikaian tersebut bermula semenjak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, yang
mengakibatkan kondisi kesatuan umat Islam menjadi kacau. Di kala itu, beberapa
golongan yang merasa paling berhak menjadi penguasa yang menggantikan khalifah
ketiga tersebut saling bertikai satu sama lain. Kondisi tersebut juga
dimanfaatkan oleh para Yahudi yang berusaha menyusup untuk menperunyam keadaan.
Puncak dari munculnya hadits palsu yaitu ketika terjadi konflik antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Salah satu pihak saling memperkuat
diri dengan menciptakan hadits palsu yang isinya seakan-akan mendukung pihak
tersebut dan menjatuhkan pihak yang lain.
Pemicu
munculnya hadits-hadits palsu tidak sebatas karena konflik politik saja,
melainkan ada faktor-faktor lain. Namun para ulama’ ahli hadits tidak tinggal
diam atas munculnya peristiwa ini. Beberapa upaya dilakukan untuk mencegah
hadits-hadits tersebt menyebarluas dan mengembalikan ajaran agama Islam ke arah
yang sesungguhnya tanpa adanya unsur-unsur dusta dan ambisi belaka.
A.
Pengertian
Hadits Palsu
Hadits Palsu atau yang biasa dikenal dengan sebutan Hadits
Maudhu’ memiliki beberapa pengertian. Secara etimologi, Hadits Maudhu’
memiliki arti : Menggugurkan, meninggalkan, mengada-ada atau membuat-buat.
Secara terminologi, menurut ulama’ ahli hadits, hadits Maudhu’ berarti “sesuatu
yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara mengada-ada atau dusta, padahal
beliau sama sekali tidak sabdakan, kerjakan, dan taqrir-kan.
Para pencipta hadits palsu menggunakan istilah-istilah
atau ungkapan para ahli hikmah, agar memiliki makna yang berkesan indah. Selain
itu jua menggunakan ungkapan para tabi’in, ulama’, kisah-kisah israilliyat atau
mereka mengarang sendiri untuk mengungkapkan suatu permasalahan layaknya sebuah
hadits sebenarnya. Betapa pun indahnya kata-kata yang dirangkai oleh pengarang
hadits palsu, tetap aja hadits palsu merupakan hadits yang kualitasnya paling
buruk.
Hadits palsu memang menimbulkan banyak dampak yang buruk
bagi agama. Selain merusak ajaran-ajarn agama Islam, juga meracuni keyakinan
dan pola pikir orang-orang yang mempercayainya. Maka dari itu maka
ulama’-ulama’ hadits mengharamkan periwayatan hadits palsu atau Maudhu’ kecuali
dalam rangka pembelajaran untuk dapat mengetahui contoh-contoh hadits maudhu’
tanpa ada tujuan untuk mempercayainya apalagi mengikutinya.
B.
Faktor Pemicu
Timbunya Hadits Palsu
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
hadits-hadits palsu / Maudhu’, antara lain :
·
Fanatisme
terhadap salah satu golongan politik
Munculnya kaum-kaum fanatik pembela golongan-golongan politik merjadi awal
mula penyebab munculnya hadits-hadits palsu. Perpecahan umat Islam menjadikan
tumbuhnya golongan-golongan fanatik buta yang saking fanatiknya hingga berani
membuat hadits-hadits palsu yang isinya mendukung tokoh-tokoh pada golongan
tersebut dan menjatuhkan golongan-golongan yang lain. Ada beberapa contoh
hadits palsu yang berisi sanjungan terhadap dua tokoh yang saling bertentangan
yaitu :
“Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka
dia kafir”
“Sosok yang berkarakter jujur ada tiga : aku, Jibril, dan
Muawiyyah”
Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan
golongan yang banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan
bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadits yang isinya
sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua
Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallaahu’anhuma.
·
Untuk merusak
agama Islam
Dilakukan oleh kau zindik, yaitu kaum yang tidak memiliki agama/kepercayaan
(atheis) yang berkedok Islam dan menyimpan kedengkian dan kebencian yang
mendalam kepada umat Islam. Pada mulanya mereka ingin merusak ajaran agama
Islam melalui Al-Qur’an, namun karena tidak ada yang dapat menandingi
keotentikan isi dari Al-Qur’an, mereka gagal dan beralih ke pembuatan hadits
palsu. Pada masa pemerntahan al-Mahdi al-Abbasi, terdapat seorang kafir zindik
yang mengaku telah memalsukan lebih dari 14.000 hadits dan isinya sangat bertentangan
dengan ajaran Islam karena telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram.
Salah satu contoh hadits palsu yang mereka buat yaitu :
“Aku adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahku,
kecuali jika Allah menghendaki.”
“Saya melihat Tuhanku di Arafah pada hari Arafah, Dia
berada di atas onta dengan membawa dua sarung.”
·
Mencari muka
kepada para pembesar
Cara ini dilakukan oleh para ahlu hikayah (tukang cerita) yang
ingin mendapatkan kedudukan yang dekat dengan para penguasa dan pembesar ataupun
untuk mendapatkan materi atau harta dengan menciptakan hadits palsu. Seperti
contoh pada masa pemerintahan al-Mahdi al Abbasi pada dinasti Abbasiyah, ketika
itu datang seorang ahlu hikayah bernama Ghiyats bin Ibrahim ketika al-Mahdi
sedang bermain adu merpati. Kemudian al-Mahdi bertanya kepadanya, “coba
jelaskan tentang hadits yang kau ketahui dari rasulullah”. Ghiyats kemudian
menjawab, “Rasulullah SAW bersabda : Tidak boleh seseorang melakukan lomba
dan aduan kecuali pada ketangkasan memanah, menunggang kuda, dan onta.” hadits berhenti di sini, namun Ghiyats
menambahkan, “atau yang bersayap”.
Mendengar
pernyataan tersebut al-Mahdi memberi imbalan kepada Ghiyats. Setelah ia pergi
al-Mahdi berkata, “ ketahuilah bahwa dia itu seorang pendusta.” Kemudian
al-Mahdi memotong merpatinya dan tidak pernah bermain adu merpati lagi.
·
Bertujuan
untuk targhib wa Tarhib
Berbeda dengan faktor-faktor lain sebelumnya, targhib wa
tarhib bermula dari tujuan yang baik, namun tidak disertai dengan pemahaman
yang baik pula. Mereka yang menciptakan hadits palsu ini merupakan sekelompok
orang yang menisbatkan dirinya sebagai seorang sufi. Hadits palsu yang mereka
buat bertujuan untuk mengajak orang berbuat kebaikan atau kembali ke jalan yang
lurus. Memang apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang baik, namun tanpa
disadari mereka telah melakukan dusta besar pula yang mengatasnamakan
Rasulullah SAW. seperti contoh pada hadits berikut :
“barang siapa mengucapkan Laa Ilaha illallah maka Allah
akan menciptakan baginya -pada setiap kalimat- seekor burung yang paruhnya
terbuat dari emas dan bulunya dari permata dan.... ”
Selain hadits di atas, termasuk pula hadits-hadits
tentang fadhilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Hadits-hadits
tersebut sebenarnya tujuannya baik, yaitu untuk memotivasi umat Islam untuk
selalu berdzikir kepada Allah dan istiqomah dalam membaca Al-Qur’an. Namun
bagaiman pun juga hadits palsu tetap saja palsu. Kita harus tetap berhati-hati
agar tidak terjerumus untuk meyakininya.
C.
Indikasi
Hadits Palsu
Tanda-tanda kepalsuan sebuah hadits dapat dilihat dari 2
sisi, yaitu : Aspek Perowi dan Aspek Redaksi Hadits yang diriwayatkan.
·
Aspek Perowi
Tanda-tanda hadits palsu jika dilihat dari aspek ini
kebanyakan diketahui melalui pengakuan pemalsunya sendiri. Seperti pengakuan
Abdul Karim bin Auja’ ketika hendak dipenggal kepalanya. Ada pula pengakuan
dari ibn Abdu Robbi al-Farisi yang memalsukan hadits tentang fadhilah
Al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits tentang keutamaan membaa
Al-Qur’an dibuat agar orang–orang Islam mau kembali membaca dan mengkaji
Al-Qur’an ditengah kesibukannya mengkaji ilmu fiqih Abi Hanifah.
Palsunya hadits juga dapat diindikasikan dari ungkapan
para perowi yang secara tidak langsung mengungkapkan sebuah pengakuan. Misal
seorang perowi hadits mengatakan telah mendengar hadits dari seseorang padahal
keduanya tidak hidup pada zaman yang sama, dan itu telah membuktikan bahwa
perowi tersebut dusta.
·
Aspek Redaksi
Perbedaan redaksi antara hadits nabi dengn hadits palsu (maudhu’) telah
dipelajari para ulama’ hadits untuk menjaga kemurnian hadits agar tidak
terkontaminasi dengan hadits-hadits palsu. Ada beberapa tanda kepalsuan sebuah
hadits dilihat dari matannya, antara lain :
a.
Maknanya rancu,
tidak masuk akal jika Rasulullah SAW yang mengatakan seperti itu. Seperti
hadits palsu yang berbunyi “seandainya beras itu orang, niscaya dia sosok
yang bijak, tidak dimakan oleh orang kecuali akan mengenyangkan.” Redaksi
hadits tersebut dianggap tidak mencerminkan kedalaman makna yang biasa
diungkapkan pada hadits nabawi.
b.
Bertentangan dengan
nash Al-Qur’an atau hadits shahih serta Ijma’. Seperti contoh hadits maudhu’
yang dibuat oleh penyembah berhala, “seandainya seseorang berbaik sangka
terhadap batu niscaya batu itu akan memberikan manfaat baginya.” Pertentangannya
dengan ajaran Islam, bahwa batu tidak akan bisa memberikan manfaat dengan
sendirinya. Atau hadits maudhu’, “anak yang lahir dari hubungan zina tidak
akan masuk surga tujuh keturunan.” Hadits ini bertentangan dengan ajaran
Islam bahwa seseorang tidak akan mewarisi dosa dari orang lain.
c.
Bertentangan dengan
akal sehat. Seperti hadits maudhu’, “pakailah cincin akik, karena bercincin
akik dapat menghindarkan dar kefakiran.” Tentu hal tersebut tidak dapat
diterima oleh akal, karena fakir tidaknya seseorang tidak ada hubungannya
dengan menggunakan cincin akik.
d.
Bertentangan dengan
ilmu kesehatan. Ada beberapa hadits maudhu’ yang menjelaskan tentang khasiat
dari makanan tertentu. Seperti contoh, “terong obat segala penyakit”.
Padahal hingga saat ini belum ada yang dapat membuktikan tentang pernyataan
tersebut.
e.
Berisi tentang
pahala yang besar atas perbuatan yang sederhana. Seperti contoh hadits maudhu’ tentang pahala puasa
sunnah, “barang siapa berpuasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala
seperti melakukan seribu kali haji, seribu umroh, dan mendapat pahala nabi
Ayyub.” Meskipun puasa sunnah memang mendapatkan pahala, namun tidak
seperti yang dikatan tersebut, apalagi hingga menandingi pahala seorang Nabi.
f.
Tentang sanksi yang
berat atas kesalahan yang kecil. Seperti contoh hadits maudhu’, “barang
siapa makan bawang pada malam jum’at maka ia akan dilempar ke neraka hingga
kedalaman tujuh puluh tahun peralanan.”
g.
Berisi tentang
permasalahan besar namun tidak diriwayatkan kecuali oleh seorang saja. Hadits
madhu’ ini berupa dukungan kepada seorang tokoh pada golongan tertentu yang
terjadi ketika pergolakan politik dalam kubu umat Islam. Seperti contoh, “Ali
adalah orang yang ku wasiati (untuk memimpin).” Padahal tidak ada sahabat yang
memilih pemimpinnya berdasarkan sebuah hadits yang menyebutkan nama seorang
secara jelas. Mereka menentukan pemimpin berdasarkan sebuah musyawarah mufakat.
D.
Referensi
Hadits-Hadits Palsu
Demi menjaga keaslian hadits-hadits Nabawi dari
campuraduknya dengan hadits maudhu’, dilakukan beberapa upaya dari para ulama’
hadits. Salah satunya yaitu menghimpun hadits-hadits Maudhu’ tersebut menjadi sebuah
kitab. Adapun karya-karya ulama’ hadits yang berisi tentang hadits Maudhu’
antara lain :
·
Kitab Al-Maudhu’at,
karya Imam al-Hafidz abi al-Farj Abdurrahman ibn al-Jauziy. Merupakan buku
pertama dan terpopuler yang membahas tentang hadits palsu. Namun, karya ini
juga menuai banyak kritik akibat banyak hadits yang belum terbukti
kepalsuannya, juga karena beliau juga memasukkan hadits hasan bahkan hadits
shahih ke dalam buku ini.
·
Kitab Al-La ali’
al-Mashnu’ah fi al-Hadits al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz Jalaluddin ash-Shuyuti.
Merupakan revisi dari karya al-Jauziy sebelumnya.
·
Kitab Tanzih
al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Hadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz
abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kanani. Kitab ini juga merupakan
revisi dari kitab al-Jauziy. Dalam kitab ini, merevisi tiga hal dalam kitab
sebelumnya, yaitu : hanya meletakkan hadits Maudhu’ yang disepakati oleh para
ulama’ hadits kemaudhu’annya, meletakkan secara khusus hadits-hadits Maudhu’
yang belum disepakati kemaudhu’annya, serta menambahkan hadits-hadits Maudhu’
yang belum ada pada kitab sebelumnya. Selain itu, dalam kitab ini juga
mencantumkan nama perowi yang menjadi pemalsu hadits.
E.
Usaha para
Ulama dalam Memberantas Hadits Maudhu’
Keberadaan para ulama’ hadits sangat berperan penting
dalam menjaga keotentikan sebuah hadits nabawi. Ada beberapa usaha yang beliau
rangkai untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits-hadits nabi dari sentuhan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di antara usaha-usahanya yaitu :
·
Mangharuskan perowi
untuk mencantumkan sanad dalam periwayatan hadits. Hal semacam ini, memang
belum dilakukan hingga terjadinya konflik politik dalam kubu umat Islam. Hal
ini dilakukan agar periwayatan hadits lebih terjaga dan terkendali, hingga
tidak semua orang dapat meriwayatkan hadits secara sembarangan.
·
Penglasifikasian
hadits dalam sebuah buku tersendiri, agar tidak tercampur dengan hadits-hadits
maudhu’.
·
Membuat
kaidah-kaidah untuk mengetahui kepalsuan sebuah hadits. Kaidah-kaidah tersebut
tersusun dalam sebuah disiplin ilmu al-Jarh wa Ta’dil.
·
Adanya klasifikasi
hadits berdasarkan kualitas maupun kuantitas sanadnya, serta kriteria yang
digunakan untuk menentukan hal tersebut. Juga dilakukannya kodifikasi hadits
dengan harapan dapat menjaga kemurnian hadits di kala banyaknya penghafal
hadits yang wafat.
·
Di samping itu,
perlu juga upaya dari umat Islam secara keseluruhan. Paling tidak upaya yang
dapat dilakukan yaitu menghindai penyebarluasan hadit-hadits palsu dan
memeplajari secara mendalam tentang ilmu-ilmu hadits, agar tidak terjerumus
untuk meyakini sebuah hadits maudhu’.
REFERENSI
Smeer, Zeid B. 2008. ULUMUL HADIS
Pengantar Studi Hadis Praktis. UIN-Malang Press: Malang.
Pettalongi, M Noor Sulaiman. 2008. Antogi
Ilmu Hadits. Gaung Persada Press: Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar
Ilmu Hadits. PT Bina Ilmu: Surabaya.
Koho, A Yazid Qasim. 1977. Himpunan
Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. PT Bina Ilmu: Surabaya.