Rabu, 25 Juli 2012

Sumber Hukum Fiqih yang Diperselisihkan (Istihsan & Maslahah Mursalah)


Sumber Hukum Fiqih yang Diperselisihkan
Sebelum menuju ke sumber hukum yang diperselisihkan, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang klasifikasi sumber hukum fiqih. Berdasarkan sudut pandang kesepakatan ulama’, klasifikasi sumber fiqih dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.         Sumber hukum yang telah disepakati semua ulama’. Yang menempati kedudukan ini adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.         Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama’. Yang menempati kedudukan ini adalah ijma’ dan qiyas.
3.         Sumber hukum yang menjadi perdebatan para ulama’. Yang menempati kedudukan ini adalah ‘urf (kebiasaan), istishhab (pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu hukum), maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan bersama), dan lain sebagainya.
Sumber hukum dalam kategori ketiga yang akan dibahas kali ini. Namun tidak semua sumber hukum yang dipersilisihkan yang akan dibahas, melainkan hanya Istihsan dan Maslahah Mursalah. Melalui pemaparan definisi serta argumentasi dari masing-masing penggunanya, dapat kita lihat ke-hujjah-annya sebagai sumber hukum fiqih.

Macam-macam Sumber Hukum Fiqih yang diperselisihkan
            Istihsan
Istihsan telah menjadi perdebatan sengit di antara ulama’ Fiqih. Sebagian dari ulama’ tersebut menggunkannya sebagai sumber hukum yang sah, namun sebagian ulama’ lainnya justru melarang penggunaan sumber hukum ini. Perselisihan yang terjadi tidak hanya dalam penggunaannya sebagai sumber hukum, namun mulai dari pendefinisiannya pun sudah terjadi perselisihan. Di antara ke empat Imam Madzhab Fiqih, Imam Abu Hanifah yang paling sering menggunakan istihsan sebagai sumber penetapan hukum. Sementara yang paling menentang keras penggunaan sumber hukum ini adalah Imam Syafi’i. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan, “Barang siapa yang ber-istihsan maka ia telah membuat syari’at baru.” Dari perselisihan pendapat tersebut, maka perlu dilakukan pedalaman serta pemahaman argumentasi dari masing-masing pihak.
1.                  Pengertian Istihsan
Istihsan secara harfiah berarti anggapan baik atau menganggap baik. Pengertian menurut bahasa tidak ada pertentangan sedikit pun, karena terdapat pada ayat al-Quran:
“Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.” (QS. Az-Zumar: 18)
Dan sabda Rasulullah Saw:
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik di sisi Allah.” (HR. Ahmad)
            Berbeda dengan pemaknaan secara bahasa, pemaknaan istihsan berdasarkan istilahnya terjadi perbedaan pendapat. Ada beberapa macam pendapat tentang definisi istihsan, namun definisi yang dianggap paling kuat yaitu: “Meninggalkan satu sisi ijtihad dari berbagai sisinya tanpa menggunakan cakupan verbal, karena terdapat sisi lain yang lebih kuat, dan sisi lain tersebut merupakan hal baru.” Definisi ini dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri yang maksudnya adalah mencabut pemutusan hukum yang bersifat spesifik dan beralih pada pembandingnya yakni prinsip dasar yang universal dengan berargumen pada adanya hal baru yang lebih kuat, berupa nash, ijma’, dan lain sebagainya.
            Sedangkan makna istihsan menurut ahli ushul fiqih adalah: “Satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang mujtahid yang menetapkan keajihan qiyas yang tidak terang (khafy) dari pada qiyas yang terang (jaly), atau merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz’iy) dari ketentuan yang umum (kully).”
2.                  Bentuk-bentuk Istihsan
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri, bahwa istihsan dapat berupa nash, ijma’, qiyas, dan lain sebagainya, maka istihsan menurut sandarannya dapat dibedakan menjadi enam, antara lain:
·         Istihsan bil qiyas al-khafi
Ialah pencetusan hukum melalui perenungan dan penelitian yang mendalam, atas sebuah kasus atau peristiwa yang memiliki dua dalil, yakni berupa qiyas jali dan qiyas khafi, dan masing-masing dalil tersebut memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
·         Istihsan bin nash
Adalah diperbolehkannya pelanggaran atas hukum yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi kaidah umum, karena secara spesifik terdapat nash dari al-Quran atau as-Sunnah yang memperbolehkan hal tersebut. Contohnya adalah tetap disahkannya puasa orang yang lupa makan dan minum ketika puasa.
·         Istihsan bil ijma’
Yaitu fatwa para mujtahid tentang suatu hukum dalam permasalahan kontemporer yang menyalahi aturan –aturan universal yang telah menjadi kaidah umum karena sebuah kebiasaan. Contohnya adalah kontrak kerja pertukangan. Karena ketika akad dilakukan hasil dari pekerjaan yang dilakukan tukang tersebut belum terwujud, sehingga secara qiyas kontrak tersebut tidak sah. Namun karena masyarakat sudah biasa melakukannya maka hal tersebut diperbolehkan.
·         Istihsan bidh-dharurat
Yaitu pengecualian atas hukum yang telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan terjadi jika hukum atau ketetapan tersebut digunakan. Contohnya adalah menyucikan air pada sumur atau telaga karena terkena najis. Secara qiyas hal tersebut tidak diperkenankan, karena pengurasan sebagian atau bahkan keseluruhan air pada sumur tersebut tidaklah mempengaruhi kesucian sisa air di telaga tersebut.
·         Istihsan bil maslahah
Yaitu hukum yang bertentangan dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Contohnya adalah diperbolehkannya pemberian zakat kepada keturunan Nabi Muhammad karena situasi pada zaman tersebut. Padahal dalam sebuah nash umum menyatakan bahwa nabi beserta keluarganya haram menerima zakat.
·         Istihsan bil ‘urf
Adalah berpindahnya suatu hukum atau kaidah umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang berlaku. Contohnya adalah berlakunya jasa toilet umum dengan tarif yang sama dengan tidak memperhitungkan berapa jumlah air yang dihabiskan. Padahal dalam kaidah umum, pemberian jasa harus diketahui jumlahnya dan waktunya. Namun karena sudah menjadi kebiasaan sehingga hal tersebut diperbolehkan.
Berdasarkan definisi dari ahli ushul fiqih, istihsan dibedakan menjadi dua, yaitu:
·         Istihsan yang merajihkan qiyas khafi dari qiyas jaly
Contohnya adalah bila seseorang telah mewakafkan sebidang tanah, maka hak pengairan dan hak lalu lintas pada tanah tersebut ikut terbawa, karena di-qiyas-kan dengan sewa menyewa, sedangkan pada qiyas jaly hak pengairan dan lalu lintas tidak ikut terbawa, karena di-qiyas-kan dengan jual beli, sehingga yang diwakafkan sebatas yang telah disebutkan.
·         Istihsan yang merajihkan pengecualian hukum khusus (juz’i) dari pada yang umum (kully)
Pengambilan hukum ini bisa dikatakan juga sebagai istihsan ijma’. Contohnya adalah Diperbolehkannya jual beli barang yang belum ada karena keadaan yang sangat dibutuhkan.
3.                  Kehujjahan Istihsan
Terjadi perbedaan pendapat dari para ulama’ fiqih tentang kehujjahan istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
·         Golongan Hanafiyah yaitu pengikut madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa istihsan boleh digunakan dengan landasan pada ayat al-Quran:

Ikutilah yang baik apa-apa yang diturunkan kepada mereka... (QS. Az-Zumar: 55)
·         Golongan Syafi’iyah, pengikut Imam Syafi’i menentang penggunaan istihsan dengan alasan:
1)                  Kita diperintahkan hanya taat kepada Allah dan rasul, dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan istihsan bukanlah dari keduanya sehingga tidak dapat dipakai hujjah.
2)                  Syari’at adalah nash atau kandungan nash, sedangkan istihsan bukanlah dari keduanya.
3)                  Sabda Nabi bukan berasal dari istihsan dirinya sendiri, seperti pada ayat al-Qur’an:
Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS. An-Najm: 3)
4)                  Nabi menyalahkan sahabat yang ber-istihsan, seperti sahabat yang membunuh musuh yang mengucapkan dua kalimat syahadat karena dianggap musuh tersebut mengucapkannya karena takut kepada pedang sahabat tersebut.
5)                  Mujtahid yang menggunakan istihsan adalah orang yang menggunakan akal/rasio semata. Jika yang demikian diperbolehkan, tentu orang yang tidak paham dengan al-Quran dan Sunnah boleh menjadi mujtahid.
Menurut Imam Syatibi, perselisihan antara Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang istihsan karena adanya perbedaan istilah atau makna dari istihsan tersebut. Jika golongan Syafi’i memaknai istihsan sebagai menguatkan atau merajihkan dengan dasar perasaan semata, golongan Hanafi memaknai istihsan sebagai penguatan terhadap hukum atas dasar kemaslahatan bersama dan mengandung penolakan terhadap kerusakan.
            
                        Maslahah Mursalah
            1.         Pengertian Maslahah Mursalah
                        Secara bahasa maslahah mursalah memiliki arti kebaikan yang dikirimkan atau kebaikan yang terkandung, sedangkan secara istilah menurut ahli ushul fiqh adalah: “Bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal, sedangkan dalil yang disepakati tentang hal itu tidak terdapat.
            2.         Stratifikasi Maslahah Mursalah
Dari tingkat prioritas penggunaan maslahah mursalah, dibagi menjadi tiga strata:
§  Al-Dlaruriyyat (primer), penetapan hukum yang berhubungan langsung dengan faktor penting dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka tata kehidupan manusia akan timpang, kebahagiaan di dunia maupun akhirat tidak akan tercapai, bahkan siksaan yang akan didapat. Kemaslahatan dalam tingkat ini, mencakup lima prinsip dasar pensyari’atan: memelihara tegaknya agama (hifzh al-din), perlindungan jiwa (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-mal).
§  Al-hajiyyat (sekunder), yaitu hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia untuk sekedar menghindari kesulitam dan kesempitan. Contoh dalam penerapan hukum melalui maslahah mursalah yakni: diperbolehkannya jama’ dan qashar bagi seorang yang berada dalam perjalanan, atau diperbolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bagi wanita yang hamil.
§  Al-Tahsiniyyat (tersier), yakni kemaslahatan yang bertujuan mengakomodasi kebiasaan dan perilaku baik serta budi pekerti luhur. Contohnya yaitu anjuran untuk menggunakan pakaian yang baik ketika beribadah (sholat), dan anjuran-anjuran baik lainnya.
4.                  Kehujjahan Maslahah Mursalah
Alasan diperbolehkannya berdalil dengan maslahah mursalah yaitu: Allah mengutus rasul-rasul-Nya yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi manusia. Demikian pula, Allah menurunkan syari’at-Nya untuk kemaslahatan manusia. Sedangkan maslahah mursalah juga memiliki dasar kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, Syekh Ibnu Taimiyah berkata bahwa: apabila seorang mendapatkan kesulitan dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka lihatlah maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)nya sebagai dasar.
                        Sedangakan alasan terhadap penolakan penggunaan maslahah mursalah sebagai sumber hukum yakni: penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralan hukum-hukum syari’at. Karena pemutusan hukum dengan metode ini sarat dengan konflik kepentingan pribadi, sementara hukum syariat hanya merekomendasikan segi kemaslahatannya secara global. Selain itu, maslahah mursalah berada pada posisi pertengahan antara penolakan syara’ pada sebagian maslahah dan pengukuhannya pada sebagian yang lain. Penerapan maslahah mursalah juga akan merusak universalitas syari’at Islam, karena dengan maslahah mursalah, hukum akan terus mengalami perubahan seiring perkembangan zaman, karena kemaslahatan manusia yang kian berubah dan berkembang.


Kesimpulan
·         Fiqih sebagai bagian dari syari’at Islam yang mengatur kehidupan manusia dari segi amaliyahnya, memiliki beberapa sumber hukum.
·         Dari sumber-sumber hukum fiqih tersebut, ada yang disepakati oleh semua ulama’ seperti al-Quran dan as-Sunnah, ada pula yang disepakati oleh mayoritas ulama’ seperti: Ijma’ dan Qiyas, bahkan ada pula yang menjadi perdepatan dikalangan ulama’ yaitu: Istihsan dan Maslahah Mursalah.
·         Sumber hukum fiqih yang diperselisihkan, antara lain yakni: Istihsan dan Maslahah Mursalah, merupakan sumber hukum yang kehujjahannya masih dipertentangkan antara pihak yang sepakat dengan penggunaannya, dengan pihak yang menolak atas penggunaannya sebagai sumber hukum.
·         Istihsan adalah perpindahan atas hukum yang telah ditetapkan secara universal dengan hukum yang lain yang dianggap lebih baik.
·         Maslahah Mursalah adalah pengecualian atas hukum yang telah ditetapkan secara universal atas dasar kepentingan atau kemanfaatan bersama.



DAFTAR PUSTAKA

Forum Karya Ilmiah. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Purna Siswa Aliyyah
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7, diakses pada tanggal 06 Mei 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Istihsan, diakses pada tanggal 06 Mei 2012
http://www.scribd.com/doc/13148904/ushul-fiqh-bagian-09-istihsan-agustianto, diakses pada tanggal 06 Mei 2012