Sumber
Hukum Fiqih yang Diperselisihkan
Sebelum menuju ke sumber hukum yang
diperselisihkan, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang klasifikasi
sumber hukum fiqih. Berdasarkan sudut pandang kesepakatan ulama’, klasifikasi
sumber fiqih dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.
Sumber hukum yang telah disepakati semua ulama’. Yang menempati kedudukan
ini adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.
Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama’. Yang menempati kedudukan ini adalah ijma’ dan qiyas.
3.
Sumber hukum yang menjadi perdebatan para ulama’. Yang menempati
kedudukan ini adalah ‘urf (kebiasaan), istishhab (pemberian hukum berdasarkan
keberadaannya pada masa lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu hukum),
maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan bersama),
dan lain sebagainya.
Sumber hukum dalam kategori ketiga yang akan
dibahas kali ini. Namun tidak semua sumber hukum yang dipersilisihkan yang akan
dibahas, melainkan hanya Istihsan dan Maslahah Mursalah. Melalui pemaparan
definisi serta argumentasi dari masing-masing penggunanya, dapat kita lihat
ke-hujjah-annya sebagai sumber hukum fiqih.
Macam-macam Sumber Hukum Fiqih yang
diperselisihkan
Istihsan
Istihsan
telah menjadi perdebatan sengit di antara ulama’ Fiqih. Sebagian dari ulama’
tersebut menggunkannya sebagai sumber hukum yang sah, namun sebagian ulama’
lainnya justru melarang penggunaan sumber hukum ini. Perselisihan yang terjadi
tidak hanya dalam penggunaannya sebagai sumber hukum, namun mulai dari
pendefinisiannya pun sudah terjadi perselisihan. Di antara ke empat Imam Madzhab
Fiqih, Imam Abu Hanifah yang paling sering menggunakan istihsan sebagai sumber
penetapan hukum. Sementara yang paling menentang keras penggunaan sumber hukum
ini adalah Imam Syafi’i. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan, “Barang siapa yang
ber-istihsan maka ia telah membuat syari’at baru.”
Dari perselisihan pendapat tersebut, maka perlu dilakukan pedalaman serta
pemahaman argumentasi dari masing-masing pihak.
1.
Pengertian Istihsan
Istihsan secara harfiah berarti anggapan baik atau
menganggap baik. Pengertian menurut bahasa tidak ada pertentangan sedikit pun,
karena terdapat pada ayat al-Quran:
“Yaitu orang-orang yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.” (QS. Az-Zumar:
18)
Dan sabda Rasulullah Saw:
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang
Islam, maka ia adalah baik di sisi Allah.” (HR. Ahmad)
Berbeda dengan pemaknaan secara
bahasa, pemaknaan istihsan berdasarkan istilahnya terjadi perbedaan pendapat.
Ada beberapa macam pendapat tentang definisi istihsan, namun definisi yang dianggap
paling kuat yaitu: “Meninggalkan satu
sisi ijtihad dari berbagai sisinya tanpa menggunakan cakupan verbal, karena
terdapat sisi lain yang lebih kuat, dan sisi lain tersebut merupakan hal baru.”
Definisi ini dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri yang maksudnya adalah
mencabut pemutusan hukum yang bersifat spesifik dan beralih pada pembandingnya
yakni prinsip dasar yang universal dengan berargumen pada adanya hal baru yang
lebih kuat, berupa nash, ijma’, dan lain sebagainya.
Sedangkan makna istihsan menurut
ahli ushul fiqih adalah: “Satu dalil yang
keluar dari pemikiran seorang mujtahid yang menetapkan keajihan qiyas yang
tidak terang (khafy) dari pada qiyas yang terang (jaly), atau merajihkan
ketentuan hukum yang khusus (juz’iy) dari ketentuan yang umum (kully).”
2.
Bentuk-bentuk Istihsan
Dari definisi yang
telah dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri, bahwa istihsan dapat berupa
nash, ijma’, qiyas, dan lain sebagainya, maka istihsan menurut sandarannya dapat
dibedakan menjadi enam, antara lain:
·
Istihsan bil qiyas al-khafi
Ialah pencetusan hukum melalui
perenungan dan penelitian yang mendalam, atas sebuah kasus atau peristiwa yang
memiliki dua dalil, yakni berupa qiyas jali dan qiyas khafi, dan masing-masing
dalil tersebut memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
·
Istihsan bin nash
Adalah diperbolehkannya pelanggaran
atas hukum yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi kaidah umum,
karena secara spesifik terdapat nash dari al-Quran atau as-Sunnah yang memperbolehkan
hal tersebut. Contohnya adalah tetap disahkannya puasa orang yang lupa makan
dan minum ketika puasa.
·
Istihsan bil ijma’
Yaitu fatwa para mujtahid tentang
suatu hukum dalam permasalahan kontemporer yang menyalahi aturan –aturan
universal yang telah menjadi kaidah umum karena sebuah kebiasaan. Contohnya
adalah kontrak kerja pertukangan. Karena ketika akad dilakukan hasil dari
pekerjaan yang dilakukan tukang tersebut belum terwujud, sehingga secara qiyas
kontrak tersebut tidak sah. Namun karena masyarakat sudah biasa melakukannya
maka hal tersebut diperbolehkan.
·
Istihsan bidh-dharurat
Yaitu pengecualian atas hukum yang
telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan terjadi jika hukum atau ketetapan
tersebut digunakan. Contohnya adalah menyucikan air pada sumur atau telaga
karena terkena najis. Secara qiyas hal tersebut tidak diperkenankan, karena
pengurasan sebagian atau bahkan keseluruhan air pada sumur tersebut tidaklah
mempengaruhi kesucian sisa air di telaga tersebut.
·
Istihsan bil maslahah
Yaitu hukum yang bertentangan
dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk kepentingan dan
kemaslahatan bersama. Contohnya adalah diperbolehkannya pemberian zakat kepada
keturunan Nabi Muhammad karena situasi pada zaman tersebut. Padahal dalam
sebuah nash umum menyatakan bahwa nabi beserta keluarganya haram menerima
zakat.
·
Istihsan bil ‘urf
Adalah berpindahnya suatu hukum
atau kaidah umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang berlaku.
Contohnya adalah berlakunya jasa toilet umum dengan tarif yang sama dengan
tidak memperhitungkan berapa jumlah air yang dihabiskan. Padahal dalam kaidah
umum, pemberian jasa harus diketahui jumlahnya dan waktunya. Namun karena sudah
menjadi kebiasaan sehingga hal tersebut diperbolehkan.
Berdasarkan definisi dari ahli ushul
fiqih, istihsan dibedakan menjadi dua, yaitu:
·
Istihsan yang merajihkan
qiyas khafi dari qiyas jaly
Contohnya adalah bila seseorang
telah mewakafkan sebidang tanah, maka hak pengairan dan hak lalu lintas pada
tanah tersebut ikut terbawa, karena di-qiyas-kan dengan sewa menyewa, sedangkan
pada qiyas jaly hak pengairan dan lalu lintas tidak ikut terbawa, karena
di-qiyas-kan dengan jual beli, sehingga yang diwakafkan sebatas yang telah
disebutkan.
·
Istihsan yang merajihkan
pengecualian hukum khusus (juz’i) dari pada yang umum (kully)
Pengambilan hukum ini bisa dikatakan
juga sebagai istihsan ijma’. Contohnya adalah Diperbolehkannya jual beli barang
yang belum ada karena keadaan yang sangat dibutuhkan.
3.
Kehujjahan Istihsan
Terjadi perbedaan
pendapat dari para ulama’ fiqih tentang kehujjahan istihsan sebagai sumber
hukum, antara lain:
·
Golongan Hanafiyah yaitu
pengikut madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa istihsan boleh digunakan dengan
landasan pada ayat al-Quran:
Ikutilah yang baik apa-apa yang diturunkan
kepada mereka...
(QS. Az-Zumar: 55)
·
Golongan Syafi’iyah,
pengikut Imam Syafi’i menentang penggunaan istihsan dengan alasan:
1)
Kita diperintahkan hanya
taat kepada Allah dan rasul, dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan
istihsan bukanlah dari keduanya sehingga tidak dapat dipakai hujjah.
2)
Syari’at adalah nash atau
kandungan nash, sedangkan istihsan bukanlah dari keduanya.
3)
Sabda Nabi bukan berasal
dari istihsan dirinya sendiri, seperti pada ayat al-Qur’an:
Dan tidaklah yang diucapkan itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS. An-Najm: 3)
4)
Nabi menyalahkan sahabat
yang ber-istihsan, seperti sahabat yang membunuh musuh yang mengucapkan dua
kalimat syahadat karena dianggap musuh tersebut mengucapkannya karena takut
kepada pedang sahabat tersebut.
5)
Mujtahid yang menggunakan
istihsan adalah orang yang menggunakan akal/rasio semata. Jika yang demikian
diperbolehkan, tentu orang yang tidak paham dengan al-Quran dan Sunnah boleh
menjadi mujtahid.
Menurut Imam Syatibi,
perselisihan antara Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang istihsan karena adanya
perbedaan istilah atau makna dari istihsan tersebut. Jika golongan Syafi’i
memaknai istihsan sebagai menguatkan atau merajihkan dengan dasar perasaan
semata, golongan Hanafi memaknai istihsan sebagai penguatan terhadap hukum atas
dasar kemaslahatan bersama dan mengandung penolakan terhadap kerusakan.
Maslahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah Mursalah
Secara
bahasa maslahah mursalah memiliki arti kebaikan yang dikirimkan atau kebaikan
yang terkandung, sedangkan secara istilah menurut ahli ushul fiqh adalah:
“Bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal, sedangkan
dalil yang disepakati tentang hal itu tidak terdapat.
2. Stratifikasi
Maslahah Mursalah
Dari tingkat
prioritas penggunaan maslahah mursalah, dibagi menjadi tiga strata:
§
Al-Dlaruriyyat (primer), penetapan hukum yang berhubungan langsung
dengan faktor penting dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka tata kehidupan manusia akan timpang, kebahagiaan di dunia maupun
akhirat tidak akan tercapai, bahkan siksaan yang akan didapat. Kemaslahatan
dalam tingkat ini, mencakup lima prinsip dasar pensyari’atan: memelihara
tegaknya agama (hifzh al-din), perlindungan
jiwa (hifzh al-aql), pemeliharaan
keturunan (hifzh al-nasl), dan
perlindungan atas harta kekayaan (hifzh
al-mal).
§
Al-hajiyyat (sekunder), yaitu hal-hal yang menjadi kebutuhan
manusia untuk sekedar menghindari kesulitam dan kesempitan. Contoh dalam
penerapan hukum melalui maslahah mursalah yakni: diperbolehkannya jama’ dan
qashar bagi seorang yang berada dalam perjalanan, atau diperbolehkannya tidak
berpuasa pada bulan Ramadhan bagi wanita yang hamil.
§
Al-Tahsiniyyat (tersier),
yakni kemaslahatan yang bertujuan mengakomodasi kebiasaan dan perilaku baik
serta budi pekerti luhur. Contohnya yaitu anjuran untuk menggunakan pakaian
yang baik ketika beribadah (sholat), dan anjuran-anjuran baik lainnya.
4.
Kehujjahan Maslahah
Mursalah
Alasan
diperbolehkannya berdalil dengan maslahah mursalah yaitu: Allah mengutus
rasul-rasul-Nya yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi manusia.
Demikian pula, Allah menurunkan syari’at-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Sedangkan maslahah mursalah juga memiliki dasar kemaslahatan bersama. Oleh
karena itu, Syekh Ibnu Taimiyah berkata bahwa: apabila seorang mendapatkan
kesulitan dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka
lihatlah maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)nya sebagai dasar.
Sedangakan
alasan terhadap penolakan penggunaan maslahah mursalah sebagai sumber hukum
yakni: penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralan hukum-hukum
syari’at. Karena pemutusan hukum dengan metode ini sarat dengan konflik
kepentingan pribadi, sementara hukum syariat hanya merekomendasikan segi
kemaslahatannya secara global. Selain itu, maslahah mursalah berada pada posisi
pertengahan antara penolakan syara’ pada sebagian maslahah dan pengukuhannya
pada sebagian yang lain. Penerapan maslahah mursalah juga akan merusak
universalitas syari’at Islam, karena dengan maslahah mursalah, hukum akan terus
mengalami perubahan seiring perkembangan zaman, karena kemaslahatan manusia
yang kian berubah dan berkembang.
Kesimpulan
·
Fiqih sebagai bagian dari
syari’at Islam yang mengatur kehidupan manusia dari segi amaliyahnya,
memiliki beberapa sumber hukum.
·
Dari sumber-sumber hukum
fiqih tersebut, ada yang disepakati oleh semua ulama’ seperti al-Quran dan
as-Sunnah, ada pula yang disepakati oleh mayoritas ulama’ seperti: Ijma’ dan
Qiyas, bahkan ada pula yang menjadi perdepatan dikalangan ulama’ yaitu:
Istihsan dan Maslahah Mursalah.
·
Sumber hukum fiqih yang
diperselisihkan, antara lain yakni: Istihsan dan Maslahah Mursalah, merupakan
sumber hukum yang kehujjahannya masih dipertentangkan antara pihak yang sepakat
dengan penggunaannya, dengan pihak yang menolak atas penggunaannya sebagai
sumber hukum.
·
Istihsan adalah perpindahan
atas hukum yang telah ditetapkan secara universal dengan hukum yang lain yang dianggap
lebih baik.
·
Maslahah Mursalah adalah
pengecualian atas hukum yang telah ditetapkan secara universal atas dasar
kepentingan atau kemanfaatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Forum Karya
Ilmiah. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Purna Siswa
Aliyyah
Djalil, Basiq.
2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7,
diakses pada tanggal 06 Mei 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Istihsan,
diakses pada tanggal 06 Mei 2012
http://www.scribd.com/doc/13148904/ushul-fiqh-bagian-09-istihsan-agustianto,
diakses pada tanggal 06 Mei 2012